A. Pengertian dan Kriteria Halal
1.
Pengertian
Halal
Kata halalan, berasal dari bahasa Arab, berakar kata
halla, artinya ‘lepas’ atau ‘tidak
terikat’. Secara etimologi kata halalan
berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas dari atau tidak
terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau bisa juga diartikan sebagai segala
sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi. Dalam konteks pangan, makanan halal adalah
akanan yang boleh dikonsumsi, diproduksi dan dikomersialkan. Sementara pengertian haram, adalah sesuatu
yang dilarang oleh syari’at untuk dilakukan.
Maka orang yan melanggarnya, akan dikenai sanksi di akhirat, juga
siksaan di dunia. Makanan haram adalah
makanan yang tidak boleh dikonsumsi, dikomersialkan dan atau dikonsumsi.[1]
Kehalalan produk menjadi suatu hal yang penting
untuk eksistensi produk itu sendiri, demi menjaga rasa kenyamanan para
konsumen. Penduduk Indonesia yang notabene sembilan puluh persennya berpenduduk
muslim meyakini bahwa suatu produk terutama pangan akan terjaga kualitas dan
muasalnya jika telah mendapat sertifikasi halal. Di sinilah tugas berat dari
LPPOM-MUI (Lembaga Pengkajían Pangan Obat-Obatan dan Kosmetíka Majelís Ulama
Indonesía) dibutuhkan.[2]
Halal adalah kriteria mutu produk utama dalam
Islam. Halal untuk pangan (bila daging) dimulai dari prosedur pemilihan
hewan ternak dan kegiatan sampai kepada penerima (konsumen). Pangan halal
harus diawali dengan aman untuk dimakan tidak ada bahan pengawet atau bahan
berbahaya, sehat yaitu segar dan nyaman tidak berpenyakit (mengandung bibit
penyakit), dan utuh yaitu sempurna sebagaimana adanya atau sebagaimana semula
disebut ASU.
Pengertian halal (qasher) dapat ditinjau dari segi pandangan
hukum dan thayyib yaitu yang melekat pada materi (Produk).
Oleh karena itu halal harus mencakup dua aspek, yaitu halal secara lahiriah
dan batiniah.[3]
Halal
sebagaimana “hadits” yang diriwayatkan dari Salman Al Farisi ketika
ditanya mengenai lemak binatang, keju dan bulu binatang.[4]
Rasululllah Saw menjawab: “Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam
kitabNya dan yang haram adalah yang Allah larang. Dan termasuk apabila
Dia diam berarti dibolehkan sebagai bentuk kasih-sayang-Nya”.[5]
Halal bila pendekatannya dari segi “hasil
(produk) dan proses”, maka halal adalah produk (suatu hasil)
yang tidak memberi mudharat pada diri sendiri dan/atau orang lain bila
dimakan/dipakai, didapat dan/atau dibuat melalui suatu kegiatan/proses
mengikuti aturan/hukum Islam (yaitu Al Qur’an & Hadits).
Pendekatan ini menjatakan barang yang dimakan, dipakai atau digunakan adalah
produk.
Pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan produk Halal. Produk Halal
adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.[6] Undang-Undang ini menjamin kehalalan produk
untuk umat Islam di Indonesia.
2.
Kriteria
Halal
a. Halal
Zatnya
Makanan halal zatnya adalah mekanan yang pada
dasarnya halal dikonsumsi karena tidak ada dalil yang melarangnya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu
Majah dan at-Tarmizi, Rasulullah saw bersabda:
“ Barang halal
adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitabnya, dan barag haram adalah apa
yang diharamkan Allah menurut kitabnya, dan sesuatu yang tidak dijelaskan maka
barang itu termasuk yang dimaafkan oleh-Nya”[7]
Hadis tersebut menjelaskan kepada kita bahwa makanan
apapun dasarnya halal dikonsumsi, kecuali ada larangan yang menjelaskan. Yakni yang menegaskan bahwa makanan itu haram
untuk dikonsumsi oleh manusia (Muslim).
Pertanyaannya adalah justru mengapa makanan itu diharamkan. Dalam hal ini seringkali akal manusia
kesulitan untuk memberi jawaban yang pasti, karena pada hakikatnya hanya Allah
lah Yang Maha Tahu. Karena itu segala
apa yang dating dari Allah bagaimanapun kita wajib mengikutinya.
b. Halal
Cara Memperolehnya
Makanan yang semula halal akan berubah menjadi haram
apabila perolehannya dengan cara yang tidak sah. Sebab itu untuk memperoleh makanan yang halal
hendaknya kita menggunakan cara yang dibenarkan oleh syariaat. Di antaranya adalah dengan cara bertani,
berdagang, menjadi pekerja bangunan, atau menjual jasa, dan lain-lainnya, Allah Swt berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat
29:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka diantara kamu”.[8]
Sebaliknya berbagai cara memperoleh makanan yang
dilarang oleh Islam bisa saja dilakukan oleh seseorang, antara lain dengan
mencuri, merampok, menipu dan lain sebagainya.
Hal ini mengindikasikan, kendati makanan yang diperoleh halal zatnya,
tetapi karena cara mendapatkannya dengan cara yang haram, maka makanan tersebut
berubah menjadi haram hukumnya. Adapun
illat (sebab-alasan) pengharaman itu, antara lain karena telah terjadi
perammpasan hak manusia (hak Adami)
oleh seseorang yang tidak berhak yang dilakukan dengan cara melawan hukum. Menurut hukum syariat, sanksi bagi pelakunya
adalah akan mendapatkan dosa dan siksa kelak di kemudian hari (sanksi akhirat)
di hadapan Allah swt.
c. Halal
Cara Pengolahannya
Betapa banyak makanan halal yang bisa kita konsumsi. Tetapi, makanan-makanan itu dapat berubah menjadi haram apabila
cara mengolahnya tidak sesuai dengan tuntunan syariat. Misalnya, kambing yang mati tanpa disembelih,
anggur yang diolah menjadi minuman keras, atau bakso yang diolah dengan lemak
babi. Adapun ajaran yang menganjurkan
agar kita mengonsusi makanan yang thayyiban (yang disebut dalam kitab sucu
al-Quran dan Hadis) adalah makanan yang baik.
Baik
dalam arti, bermanfaat dan tidak mengganggukesehatan tubuh. Kriteria baik dapat dilihat dari seberapa
banyak kandungan gizi dan vitamin yang ada di dalam makanan itu. Apabila mengandung gizi dan vitamin yang
bermanfaat dan mencukupi untuk kesehatan tubuh kita, maka makanan itu masuk
dalam kategori baik. Dedangkan yang
dimaksud tidak mengganggu kesehatan adalah berbagai jenis makanan yang antara
lain tidak menjijikkan, tidak membusuk, dan tidak mengakibatkan efek negative
bagi kesehatan.[9]Dala
hubungan in, firman Allah swt.
“DAN (Allah) menghalalkan bagi segala yang baik dan
mengharamkan mereka segala yang buruk”[10]
B. Tujuan Labelisasi dan Sertifikasi Halal
Sertifikat halal dan labelisasi halal merupakan dua
kegiatan yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain. Hasil dari kegiatan sertifikasi halal adalah
diterbitkannya sertifikat halal, apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai
produk halal. Sertifikat halal dilakukan
oleh lembaga yang mempunyai otoritas untuk melaksanakannya. Tujuan akhir dari sertifikasi halal adalah
adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah
memenuhi ketentuan halal. Sedangkan
labelisasi halal adalah pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan
produk untuk menunjukkan bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk
halal.
Begitu pula, setiap pelaku usaha yang akan
mencantumkan label halal harus memiliki sertifikat halal terlebih dahulu. Tanpa sertifikat halal MUI, ijin pencantuman
label halal tidak akan diberikan pemerintah.
Sampai saat ini memang belum ada aturan yang menetapkan bentuk logo
halal yang khas, sehingga pada umumnya produsen mencetak tulisan halal dalam
huruf latin dan/atau arab dengan bentuk logo MUI dengan mencantumkan nomor
sertifikat halal yang dimilikinya. Hal
ini dirasakan lebih aman bagi konsumen karena masih banyak produk yang beredar
di pasaran yang mencantumkan label halal tanpa memiliki sertifikat halal MUI.[11]
Sertifikat halal[12]
adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh MUI Pusat atau Provinsi tentang
halalnya suatu produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika yang diproduksi
oleh perusahaan setelah diteliti dan dinyatakan halal oleh LPPOM MUI. Pemegang otoritas menerbitkan sertifikasi
produk halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara teknis ditangani
oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama
Indonesia (LP POM MUI).
Bagi konsumen, serifikasi halal berfungsi :
1. Terlindunginya
konsumen muslim dari mengonsumsi pangan, obat-obatan dan kosmetika yang tidak
halal
2. Secara
kejiwaan perasaaan hati dan batin konsumen akan tenang
3. Mempertahankan
jiwa dan raga dari keterpurukan akibat produk haram
4. Sertifikasi
halal juga akan memberikan kepastian dan perlindungan hokum terhadap konsumen
Sedangkan bagi pelaku usaha, sertifikat halal
mempunyai peran sangat penting, yakni :
1. Sebagai
pertanggungjawaban produsen kepada konsumen muslim, mengingat masalah halal
merupakan bagian dari prinsip hidup muslim
2. Meningkatkan
kepercayaan dan kepuasan konsumen
3. Meningkatkan
citra dan daya saing perusahaan
4. Sebagai
alat pemasaran serta untuk memperluas area jaringan pemasaran
5. Memberi
keuntungan pada produsen dengan meningkatkan daya saing dan omset produksi dan
penjualan
Ada beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan
diberlakukannya labelisasi dan sertifikasi halal dalam dunia industry dewasa
ini.
1. Jumlah
penduduk Indonesia yang lebih dari 100 juta dan sekitar 87% beragama Islam
merupakan potensi pasar yang sangat besar bagi produk-produk halal. Apabila produk dalam negeri belum mampu
menerapkan sistem produksi halal, maka aka dimanfaatkan oleh produk negara
lainyang telah menerapkan sstem produksi halal.
Pada saat ini konsumen Muslim di beberapa daerah berkecenderungan tertarik pada produk dari luar negeri karena
sudah diproduksi dengan menggunakan label dan sertifikasi halal yang
terakreditasi dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
2. Karena
belum memasyarakatnya sistem produksi halal di dalam negeri, mak produk impoer
seperti makanan, minuman, obat, kosmetika, dan produk halal lainnyaakan menjadi
ancaman bagi daya saing produk dalam negeri, baik di pasar loka, nasional
maupun pasar bebas. Saat ini produk haal
dari Singapura dab Malaysia elah masuk kesebagian kawasan Indonesia Barat,
Tengah, dan Timur dan apabila tidak segera diatasi akan dapat mematikan ke
sebagian kawasan Indonesia Barat, Tengah, Timur dan apabila tidak segera
dibatasi akan dapat mematikan pasar produk dalam negeri.
3. Meningkatnya
kesadaran masyarakat akan pentingnya mengonsumsi dan mengunakan produk halal
merupakan tantangan yang harus direspons oleh Pemerintah dan pelaku usaha
Indonesia. Sebagai contoh, pasar dalam
negeri kini telah dibanjiri produk luar negeri yang berlebel halal. Sementara produk Indonesia yang diekspor ke beberapa
negara yang mayoritas Muslim tidak dapat diterima hanya karena tidak mencantumkan
label halal.
4. Di
samping itu dengan mulai diberlakukannya era persaingan bebas seperti AFTA pada
tahun 2003 dan telah dicantumkannya ketentuan halal dalam KODEX yang didukung
oelh WHO dan WTO, maka produk-produk nasional harus meningkatkan daya saingnya
pada pasar dalam negeri maupun luar negeri (internasional). Sebagai gambaran, setiap hari negara-negara
di kawasan Timur Tengah memerlukan empat ribu ton produk-produk halal dari
Indonesia. Akan tetapi karena pelaku
pelaku usaha di Indonesia belum banyak yang dapat memenuhi standar sistem
produksi halal internasional , maka kesempatan tersebut ditangkap negara lain,
seperti Malaysia. Saat ini negara-negara
produsen seperti Australia, New Zealand, Thailand, Cina, dan Amerika telah
menerapkan standar sistem produksi halal dalam setiap produksinya.
5. Dari
sekitar 1,5 juta produsen makanan, minuman, obat-obatan, kosetika, dan produk
lainnya, kurang dari seribu yang menggunakan label dan sertifikasi halal. Hal tersebut disebabkan karena belum siapnya pemerintah
dalam menyediakan fasilitas yang sesuai dengan tuntutan pasar. Sebagai akibat
dari kondisi ini terjadi kecenderungan bagi para pelaku usaha untuk mendirikan
pabrik di Malaysia dan Singapura hanya karena sekadar untuk memperoleh
sertifikat dan label halal dari pemerintah yang bersangkutan.
C. Pembinaan Produksi Halal
Dalam rangka pelaksanaan pembinaan, pengawasan, dan
koordinasi Pemerintah perlu mengadakan pengaturan pembinaan dan pengendalian
sebagai berikut:
1. Pembinaan
dan pengawasan pelaku usaha di bidang penerapan jaminan produk halal dilakukan
oleh Departemen Agama.
2. Pengawasan
halal terhadap produk makanan, minuman, obat, kosmetika, dan produk lainnya
yang berasal dari dalam negeri maupun impor dilaksanakan oleh pegawai penyidik.
3. Koordinasi
jaminan produk halal dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi.
Tugas pokok dan fungsi pembinaan produk halal
Direktorat Urusan Agama Islam ialah merumuskan bimbingan dan penyuluhan atau
pengawasan di bidang makanan, minuman, obat kosmetika, dan produk halal
berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Sedangkan fungsinya :
1. Memimpin
pelaksanaan tugas dan fungsi pembinaan produk halal
2. Menyiapkan
bahan bimbingan dan penyuluhan atau pengawasan terhadap beberapa produk
3. Mengadakan
pelayanan, verifikasi, sertifikasi dan keterangan halal bagi beberapa produk.
4. Melakukan
koordinasi dan kerjasama dengan sektor yang terkait dengan produksi halal
5. Mengendalikan
perlindungan dan pembinaan produksi halal.
6. Melakukan
penyelidkan terhadap produksi halal yang bermasalah
7. Pengendalian
terhadap kehalalan produksi, impor dan peredaran produksi halal.
8. Memberikan
perlindungan terhadap konsumen dan produsen halal.
D. Pengawasan dan Koordinasi Produksi Halal
Dalam rangka pengawasan, maka pemerintah perlu mengadakan
pengaturan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Departemen
agama dalam hal petunjuk tentang bahan baku, bahan tambahan proses produksi dan
peredaran makanan halal.
2. Departemen
Pertanian dalam proses penyediaan bahan baku yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan.
3. Departemen
Perindustrian dalam hal pembinaan industry.
4. Departemen
Kesehatan dalam hal penetapan persyaraytan yang berhubungan dengan kesehatan
dan periklanan.
5. Departemen
perdagangan dalam hal penetapan persyaratan impor bahan baku, bahan tambahan
dan bahan makanan penolong makanan halal.
Pelaksanaan pengawasan oleh Pemerintah dilakukan
dengan cara preventif dan pengawasan khusus:
1. Pengawasan
preventif dilakukan Menteri Agama dan dapat bekerja sama dengan menteri lain
yang terkait.
2. Pengawasan
di lab produk tentang jaminan produk halal dilakukan oleh Menteri Agama
3. Pengawas
khusus dalam hal tertentu dilakukan oleh Menteri Agama bersama-sama oleh
menteri yang terkait.
Pengawasan terhadap Produksi Halal atau Jaminan
Produk Halal (JPH) dilakukan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk
Halal). Pengawasan tersebut di lakukan
terhadap[13]
:
1. LPH;
2. Masa
berlaku Sertifikat Halal;
3. Kehalalan
produk ;
4. Pencantuman
Label Halal;
5. Pencantuman
keterangan tidak halal;
6. Pemisahan
lokasi, tempat dan alat penyembeihan, pengoahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak
halal;
7. Keberadaan
Penyelia Halal; dan/atau
8. Kegiatan
lain yang berkaitan dengan JPH.
BPJPH dan Kementerian dan/atau Lembaga terkait yang
memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat melakukan pengawasan secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama.[14] Pengawasan JPH dengan kementerian dan/atau
lembaga terkait dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Ketentuan lebih
lanjut mengenai pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.[15]
Peran serta masyarakat dalam hal pengawasan Produk
Halal atau Jaminan Produk Halal (JPH) diharapkan dapat membantu Pemerintah
dalam hal ini BPJPH dan Kementerian terkait. Dalam UU nomor 33 tahun 2013
tentang Jaminan Produk Halal telah tertuang bagaimana yang dapat dilakukan
masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap beredarnya produk halal dan
tidak halal,[16]
yakni :
1. Masyarakat
dapat berperan serta dalam penyelenggaraan JPH.
2. Peran
serta masyarakat dapat berupa:
a. Melakukan
sosialisasi mengenai JPH; dan
b. Mengawasi
Produk dan Produk Halal yang beredar.
3. Peran
serta masyarakat berupa pengawasan Produk dan Produk Halal yang beredar
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berbentuk pengaduan atau pelapora ke
BPJPH.
Masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan
dan pengawasan JPH akan mendapatkan penghargaan yang diberikan oleh BPJPH.
E. Prosedur Permohonan Produksi Halal
Untuk mendapatkan status halal sebuah produk, pelaku
usaha harus melakukan prosedur permohonan sebagai berikut :
1. Pelaku
usaha melakukan permohonan ke Departemen Agama.
Departemen Agama menunjuk LPPOM MUI untuk melakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan diteruskan ke komisi fatwa
MUI untuk dilakukan penelitan dan pembahasan.
2. Jika
hasil siding fatwa MUI memutuskan produk tersebut tidak halal, maka
dikembalikan pada LPPOM MUI dan diteruskan pada pelaku usaha untuk dilengkapi
dan disempurnakan. Jika siding
memutuskan bahwa produk tersebut halal maka MUI mengeluarkan sertifikat halal
dan dikukuhkan oleh Menteri Agama.
3. Setelah
mendapat ijn dan nomor kode dari Menteri Agama, perusahaan yang bersangkutan
dapat mencetak label halal dengan menggunakan standar Pemerintah. Biaya labelisasi tersebut ditanggung
perusahaan.
Di dalam UU Nomor 33 Tahun 2013 tentang Jaminan
Produk Halal kaitannya dengan prosedur permohonan Produk Halal, terdapat hal-hal
yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha. Berikut ini adalah hal-hal yang
perlu diperhatikan :
1. Pelaku
Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib :[17]
a. Membeikan
informasi secara benar, jelas, dan jujur;
b. Memisahkan
lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, penjualan, dan
penyajian antara Produk Halal dan ridak halal;
c. Memiliki
penyelia halal; dan
d. Melaporkan
perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH
2. Pelaku
Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib:[18]
a. Mencantumkan
Label Halal terhadap produk terhadap Produk yang telah mendapat Sertifikat
Halal;
b. Menjaga
kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal;
c. Memisahkan
lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan,
pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;
d. Memperbarui
Sertifikat Halal jika masa berlaku Sertifikat Halal berakhir; dan
e. Melaporkan
perubahan komposisi Bahan kepada BPJHP.
Tinjauan terhadap Prosedur permohonan Sertifikat dan
Pemeriksaan Produk Halal di Indonesia telah diatur dalam UU Nomor 33
Tahun 2013 tentang Jaminan Produk Halal.
1. Bagian
Kesatu (Pengajuan Permohonan)[19]
a. Permohonan
Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH.
b. Permohonan
Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan dokmen:
1) Data
Pelaku Usaha;
2) Nama
dan jenis Produk;
3) Daftar
Produk dan Bahan yang digunakan; dan
4) Proses
pengolahan Produk
c. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur
dalam Peraturan Menteri.
2. Bagian
Kedua (Penetapan Lembagi Pemeriksa Halal)[20]
a. BPJPH
menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.
b. Penetapan
LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama
5 (lima) hari kerja trhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (2) dinyatakan lengkap.
c. Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri.
3. Bagian
Ketiga (Pemeriksaan dan Pengujian)[21]
a. Pemeriksaaan
dan/atau pengujian kehalalan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat
(1) dilakukan oleh Auditor Halal.
b. Pemeriksaan
terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi
c. Dalam
hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang
diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium.
d. Dalam
pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.
e. LPH
menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pegujian kehalalan Produk kepada BPJPH.
f. BPJHP
menyampaikan hasi pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI
untuk memperoleh penetapan kehaalan produk.
4. Bagian
keempat (Penetapan Kehalalan Produk)[22]
a. Penetapan
Kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.
b. Penetapan
kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam siding
Fatwa Halal.
c. Sidang
Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikutsertakan pakar,
unsur kemeterian/lembaga, dan/atau instansi terkait.
d. Sidang
Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memutuskan kehalalan Produk
paling ama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan
dan/atau pengujian Produk dari BPJPH.
e. Keputusan
Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandantangani oleh
MUI.
f. Keputusan
Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada
BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.
5. Bagian
Kelima (Penerbitan Sertifikat Halal)[23]
a. Dalam
hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menetapkan
halal pada Produk yang dimohonkan Pelaku Usaha, BPJPH menerbitkan Sertifikat
Halal.
b. Dalam
hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (2) menyatakan
Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada
Pelaku Usaha disertai dengan alasan.
F. Prosedur Pemeriksaan Produksi Halal
Setiap produsen maupun importer yang mengajukan
permohonan pemeriksaan dan penetapan produk halal dari lembaga pemeriksa harus
memenuhi prosedur sebagai berikut :
1. Mengisi
formulir pendaftaran yang telah disediakan oelh lembaga pemeriksa.
2. Khusus
bagi produk yang menggunakan bahan yang berasal dari hewan harus melampirkan
Sertifikat Halal dari MUI atau lembaga sertfikat luar negeri dilalui MUI yang
menyatakan bahwa pemotongan hewan dilakukan berdasarkan hukum Islam.
3. Data
penunjang bahan, seperti sertifikat halal, asal-usul halal bahan dan lan-lain.
4. Bagan
atur proses produksi.
5. Sertifikat
dan sumber bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong lainnya.
Sebelum produsen mengajukan permohonan pemeriksaan
maka terlebih dahulu disyaratkan yang bersangkutan menyiapkan hal-hal sebagai
berikut :
1. Produsen
menyiapkan suatu sistem halal
2. Sistem
halal tersebut harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan
bagian kebijakan manajemen produsen.
3. Dalam
pelaksanaannya, sistem halal ini diuraikan dalam bentuk panduan halal. Tujuan membuat panduan halal adalah untuk
memberikan uraian sistem manajemen halal yang dijalankan produsen
4. Produsen
menyiapkan prosedur peaksanaan untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar
kehalalan produknya dapat terjamin
5. Baik
panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan harus
disosialisasikan dan diujicoba dilingkungan produsen sehingga seluruh jajaran
mulai dari direksi sampai karyawan memahami betul bagaimana memproduksi produk
halal dan baik
6. Produsen
melakuakan pemeriksaan serta mengevaluasi apakah sistem halal yang menjamin
kehalalan produk ini dilakukan sebagaimana mestinya
7. Untuk
melaksanakan butir 6 perusahaan harus mengangkat seorang auditor halal internal
yang beragama Islam.
Objek-objek pemeriksaan yang berkaitan dengan
kehalalan produk-produk meliputi:
1. Asal-usul
bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong
2. Ruang
produksi, peralatan produksi, ruang penyimpanan, alat pengangkutan untuk
distribusi dan penyajian produk
3. Cara
pelaksanaan produksi produk, termasuk cara penyembelihan hewan dan cara
penyajian produk
4. Kriteria
personil yang melaksanakan penyembelihan hewan dan melaksanakan proses produksi
, ruang produksi, dan fasilitas.
G. Landasan Yuridis
1. Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan
2. Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 2013 tentang Jaminan Produk Halal
3. Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
4. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
5. Peraturan
Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
6. Kepmenkes
Nomor. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan atas Kepmenkes No.
82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “halal” pada Label Makanan
7. SK.
Menkes No.23 Tahun 1978 tentang pedoman cara produksi yang baik untuk makanan
olahan.
8. SK.
Menkes No.23 Tahun 1992 tentang kehalalan pangan.
9. QS
al-Baqarah ayat 163
10. QS
al-Baqarah ayat 172
11. HR
Bukhari dan Muslim
H. Analisis permasalahan sertifikasi Halal
Ada beberapa contoh kasus yang teah sangat menyakiti
konsumen Muslim di Indonesia, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian besar
bagi produsen dan dunia usaha, yaitu: kasus bakso mengandung ddaging babi di
Bandung (1984), kasus makanan yang memakai bahan dari babi di Malang (1988)[24],
dan kasus Vaksin Meningitis Jemaah
haji yang mengandung enzim babi (2009).[25] Menyikapi hal ini, Majelis Ulama Indonesia
(MUI) melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LP-POM) dan
Komisi Fatwa telah berikhtiar untuk memberikan jaminan produk makanan halal
bagi konsumen muslim melalui instrument sertifikat halal. Sertifikat halal merupakan fatwa tertulis
Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan suatu produk. Sertifikat halal selain sebagai perlindungan
konsumen dari berbagai macam makanan yang dianggap tidak layak sesuai syari’at
Islam khususnya Indonesia yang mayoritas beragama Islam, juga mendorong
kompetisi dan menjadi keunggulan.
Sertifikat halal saat ini menjadi salah satu poin untuk daya saing di
perdagangan Internasional.[26]
LPPOM MUI melakukan pengkajian dan pemeriksaan dari
tinjauan sains terhadap produk yang akan disertifikasi. Jika berdasarkan pendekatan sains telah
didapatkan kejelasan, maka hasil pengkajian dan pemeriksaan tersebut dibawa ke
Komisi Fatwa untuk dibahas dari tinjauan syari’ah Islam. Pertemuan antara sains dan syari’ah inilah
yang dijadikan dasar penetapan oleh Komisi Fatwa, yang selanjutnya dituangkan
dalam bentuk sertifikat halal oleh MUI.
Namun, karena sertifikasi ini masih bersifat sukarela maka (jangan heran
kalau)saat ini masih banyak produk yang sudah bersetifikat halal tetapi belum
memiliki label halal, sekitar 35,19 persen dari total produk makanan, minuman,
obat-obatan dan kosmetik yang terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM). Kemudian sekitar 90 persen dari
jumlah itu berasal dari produk pangan.[27]
Diakui bahwa pada saat ini masih cukup banyak
permasalahan yang dihadapi dalam kaitan dengan sertifikasi karena masalah
sertifikasi halal itu sendiri merupakan sesuatu yang masih relative baru. Masyarakat, terutama umat Islam baru
menyadari akan pentingnya sertifikasi halal sehingga banyak kendala yang masih
harus dihadapi untuk merealisasikannya.
Permasalahan tersebut diantaranya berkaitan dengan aspek sebagai berikut
:
1. Kelembagaan
2. Standar
3. Mutual
Recognition
4. Persangan
Global
5. Mekanisme
Sertifikat Halal
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Makanan
halal adalah makanan yang dibolehkan oleh agama dari segi hukumnya dan makanan
tersebut dapat diolah dengan baik dan benar menurut agama. Minuman halal adalah
minuman yang dibolehkan oleh agama dari segi hukumnya dan minuman tersebut
dapat diolah dengan baik dan benar menurut agama.
2. Jaminan pangan halal dan baik adalah
mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing
produk pangan lokal Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri.
3. Pangan halal adalah Pangan yang
memiliki cita rasa baik, sanitasi higine baik dan kandungan gizinya yang baik.
Pangan yang baik berkaitan dengan jaminan bahwa pangan yang diproduksinya
bergizi, rasanya enak, warnanya menarik, teksturnya baik, bersih, bebas dari
hal-hal yang membahayakan tubuh seperti kandungan mikroorganisma patogen,
komponen fisik, biologis, dan zat kimia berbahaya. Baik (Thayyib) adalah lezat,
baik, sehat dan menentramkan.
B. Saran
Makanan dan minuman tidak dapat sembarangan di produksi dan di
konsumsi. Sebaiknya harus di pastikan terlebih dahulu apakah makanan itu halal
ataukah haram.
Saran
agar masyarakat tidak mengkonsumsi makanan haram yaitu;
1. menindak lanjuti
produsen yang produksi makanan haram
2. member sanksi terhadap
orang yang mengkonsumsi makanan dan minuman haram
3. member label halal
terhadap yang halal,dan tidak member label halal terhadap yang haram.
4. lebih berhati-hati dalam memilih
ataupun mengkonsumsi produk pangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Djakfar,
Muhammad. Hukum Bisnis. Malang:
UIN-Maliki Press,2013
Zarqa, Ahmad Ibn Syekh Muhammad, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Damaskus:
Dar al-Qalam, 1422H
Yusanto, Muhammad Ismail dan
Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas
Bisnis Islami, Jakarta: Gema Insani, 2002
Wahid, Abdurrahman, Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta:
Leppenas,1981
UU No. 33 Tahun 2013 tentang
Jaminan Produk Halal
Tim Departemen Agama RI., Ushul Fiqh I-II P3 – PT IAIN, Jakarta:
Depertemen Agama RI, 1981
[1] Mudhafier Fadhlan, Makanan Halal, (Jakarta; Zakia Press; 2004),
h.37.
[2]Ibid.,
[3]Menurut Rudyanto,2003
[4] Menurut Qaradhawi 2007,31
[5] HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah
[6] UU No.33 Tahun 2013 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 pada
ketentuan umum
[7] H.R Ibnu Majah No3358 dan at-Tarmizi No1648.
[8] QS. An-Nisa’ 29
[9] Ibrahim, Pemahaman, 14-15
[10] QS Al-A’raf, 157
[11] Paulus J. Rusli, “Nilai Unggul Produk Halal”, Jurnal Halal, Nomor
59 Th X, 2005, Jakarta: LPPOM MUI, hlm. 15.
[12] Sertifikat Halal MUI untuk pertama kali diterbitkan pada tanggall 7
April 1994 Untuk produk Unilever Indonesia
[13]UU No. 33 Tahun 2013, Bab VII Tentang Pengawasan; Pasal 49.
[15]Ibid,.
[16] UU No. 33 Tahun 2013; Bab VIII tentang Peran Serta Masyarakat,
Pasal 53.
[17] UU No. 33 Tahun 2013 op.cit.,BAB
IV Pelaku Usaha pasal 24
[24] Ma’ruf Amin, “Fatwa HALAL Melindungi Umat dari Kerugian yang Lebih
Besar”, Jurnal Halal, No.103 Th. XVI
Tahun 2013, Jakarta;LPPOM MUI, hlm.20.
[25] Fokus, “Mendamba Vaksin Meningitis Halal”, Jurnal Halal, No.78 Th.
XII Tahun 2009, Jakarta; LPPOM MUI, hlm. 8
[26] Sandiago Uno, “Agar UKM Semakin Berdaya Saing Tinggi” Jurnal Halal, No. 91 Th. XIV Tahun 2011,
Jakarta LPPOM MUI, hlm. 8
[27] Lukmaul Hakim “Sayang Ya Serifikat Halal Masih Urusan Sukarela”, Majalah Aulia, No. 12 Th. VIII Jumadil Sani-Rajab
1432 H Tahun 2011, Jakarta: Aulia, hlm. 135.
This is really an awesome article. Thank you for sharing this.It is worth reading for everyone.
BalasHapusSertifikasi HALAL
This is really an awesome article. Thank you for sharing this.It is worth reading for everyone.
BalasHapusiso 9001 certification in mumbai
Nice blog
BalasHapusiso 22301 lead auditor course online
good
BalasHapusiso 45000 certification
Sertifikasi Halal
BalasHapusSertifikasi Halal
BalasHapusThanks for sharing this great content. It is really informative and useful., You can also check this Similar site iso 22301 lead auditor course online
BalasHapus