Rabu, 25 Mei 2016

labelisasi dan sertifikasi halal



A.  Pengertian dan Kriteria Halal

1.    Pengertian Halal
Kata halalan, berasal dari bahasa Arab, berakar kata halla, artinya ‘lepas’ atau ‘tidak terikat’.  Secara etimologi kata halalan berarti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas dari atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya.  Atau bisa juga diartikan sebagai segala sesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.  Dalam konteks pangan, makanan halal adalah akanan yang boleh dikonsumsi, diproduksi dan dikomersialkan.  Sementara pengertian haram, adalah sesuatu yang dilarang oleh syari’at untuk dilakukan.  Maka orang yan melanggarnya, akan dikenai sanksi di akhirat, juga siksaan di dunia.  Makanan haram adalah makanan yang tidak boleh dikonsumsi, dikomersialkan dan atau dikonsumsi.[1]
Kehalalan produk menjadi suatu hal yang penting untuk eksistensi produk itu sendiri, demi menjaga rasa kenyamanan para konsumen. Penduduk Indonesia yang notabene sembilan puluh persennya berpenduduk muslim meyakini bahwa suatu produk terutama pangan akan terjaga kualitas dan muasalnya jika telah mendapat sertifikasi halal. Di sinilah tugas berat dari LPPOM-MUI (Lembaga Pengkajían Pangan Obat-Obatan dan Kosmetíka Majelís Ulama Indonesía) dibutuhkan.[2]
Halal adalah kriteria mutu produk utama dalam Islam.  Halal untuk pangan (bila daging) dimulai dari prosedur pemilihan hewan ternak dan kegiatan sampai kepada penerima (konsumen).  Pangan halal harus diawali dengan aman untuk dimakan tidak ada bahan pengawet atau bahan berbahaya, sehat yaitu segar dan nyaman tidak berpenyakit (mengandung bibit penyakit), dan utuh yaitu sempurna sebagaimana adanya atau sebagaimana semula disebut ASU.
Pengertian halal (qasher) dapat ditinjau dari segi pandangan hukum dan thayyib yaitu yang melekat pada materi (Produk).  Oleh karena itu halal harus mencakup dua aspek, yaitu halal secara lahiriah dan batiniah.[3]
Halal sebagaimana “hadits” yang diriwayatkan dari Salman Al Farisi ketika ditanya mengenai lemak binatang, keju dan bulu binatang.[4] Rasululllah Saw menjawab: “Yang halal adalah apa yang Allah halalkan dalam kitabNya dan yang haram adalah yang Allah larang.  Dan termasuk apabila Dia diam berarti dibolehkan sebagai bentuk kasih-sayang-Nya”.[5]
Halal bila pendekatannya dari segi “hasil (produk) dan proses”, maka halal adalah produk (suatu hasil) yang tidak memberi mudharat pada diri sendiri dan/atau orang lain bila dimakan/dipakai, didapat dan/atau dibuat melalui suatu kegiatan/proses mengikuti aturan/hukum Islam (yaitu Al Qur’an & Hadits).  Pendekatan ini menjatakan barang yang dimakan, dipakai atau digunakan adalah produk.
Pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan produk Halal.  Produk Halal adalah produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam.[6]  Undang-Undang ini menjamin kehalalan produk untuk umat Islam di Indonesia. 
2.    Kriteria Halal
a.    Halal Zatnya
Makanan halal zatnya adalah mekanan yang pada dasarnya halal dikonsumsi karena tidak ada dalil yang melarangnya.  Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Majah dan at-Tarmizi, Rasulullah saw bersabda:
Barang halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitabnya, dan barag haram adalah apa yang diharamkan Allah menurut kitabnya, dan sesuatu yang tidak dijelaskan maka barang itu termasuk yang dimaafkan oleh-Nya”[7]
Hadis tersebut menjelaskan kepada kita bahwa makanan apapun dasarnya halal dikonsumsi, kecuali ada larangan yang menjelaskan.  Yakni yang menegaskan bahwa makanan itu haram untuk dikonsumsi oleh manusia (Muslim).  Pertanyaannya adalah justru mengapa makanan itu diharamkan.  Dalam hal ini seringkali akal manusia kesulitan untuk memberi jawaban yang pasti, karena pada hakikatnya hanya Allah lah Yang Maha Tahu.  Karena itu segala apa yang dating dari Allah bagaimanapun kita wajib mengikutinya.
b.    Halal Cara Memperolehnya
Makanan yang semula halal akan berubah menjadi haram apabila perolehannya dengan cara yang tidak sah.  Sebab itu untuk memperoleh makanan yang halal hendaknya kita menggunakan cara yang dibenarkan oleh syariaat.  Di antaranya adalah dengan cara bertani, berdagang, menjadi pekerja bangunan, atau menjual jasa, dan lain-lainnya,  Allah Swt berfirman dalam surat an-Nisa’ ayat 29:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka diantara kamu”.[8]
Sebaliknya berbagai cara memperoleh makanan yang dilarang oleh Islam bisa saja dilakukan oleh seseorang, antara lain dengan mencuri, merampok, menipu dan lain sebagainya.  Hal ini mengindikasikan, kendati makanan yang diperoleh halal zatnya, tetapi karena cara mendapatkannya dengan cara yang haram, maka makanan tersebut berubah menjadi haram hukumnya.  Adapun illat (sebab-alasan) pengharaman itu, antara lain karena telah terjadi perammpasan hak manusia (hak Adami) oleh seseorang yang tidak berhak yang dilakukan dengan cara melawan hukum.  Menurut hukum syariat, sanksi bagi pelakunya adalah akan mendapatkan dosa dan siksa kelak di kemudian hari (sanksi akhirat) di hadapan Allah swt.
c.    Halal Cara Pengolahannya
Betapa banyak makanan halal yang bisa kita konsumsi.  Tetapi, makanan-makanan itu dapat berubah menjadi haram apabila cara mengolahnya tidak sesuai dengan tuntunan syariat.  Misalnya, kambing yang mati tanpa disembelih, anggur yang diolah menjadi minuman keras, atau bakso yang diolah dengan lemak babi.  Adapun ajaran yang menganjurkan agar kita mengonsusi makanan yang thayyiban (yang disebut dalam kitab sucu al-Quran dan Hadis) adalah makanan yang baik.  Baik dalam arti, bermanfaat dan tidak mengganggukesehatan tubuh.  Kriteria baik dapat dilihat dari seberapa banyak kandungan gizi dan vitamin yang ada di dalam makanan itu.  Apabila mengandung gizi dan vitamin yang bermanfaat dan mencukupi untuk kesehatan tubuh kita, maka makanan itu masuk dalam kategori baik.  Dedangkan yang dimaksud tidak mengganggu kesehatan adalah berbagai jenis makanan yang antara lain tidak menjijikkan, tidak membusuk, dan tidak mengakibatkan efek negative bagi kesehatan.[9]Dala hubungan in, firman Allah swt.
“DAN (Allah) menghalalkan bagi segala yang baik dan mengharamkan mereka segala yang buruk”[10]

B.  Tujuan Labelisasi dan Sertifikasi Halal

Sertifikat halal dan labelisasi halal merupakan dua kegiatan yang berbeda tetapi mempunyai keterkaitan satu sama lain.  Hasil dari kegiatan sertifikasi halal adalah diterbitkannya sertifikat halal, apabila produk yang dimaksudkan telah memenuhi ketentuan sebagai produk halal.  Sertifikat halal dilakukan oleh lembaga yang mempunyai otoritas untuk melaksanakannya.  Tujuan akhir dari sertifikasi halal adalah adanya pengakuan secara legal formal bahwa produk yang dikeluarkan telah memenuhi ketentuan halal.  Sedangkan labelisasi halal adalah pencantuman tulisan atau pernyataan halal pada kemasan produk untuk menunjukkan bahwa produk yang dimaksud berstatus sebagai produk halal.
Begitu pula, setiap pelaku usaha yang akan mencantumkan label halal harus memiliki sertifikat halal terlebih dahulu.  Tanpa sertifikat halal MUI, ijin pencantuman label halal tidak akan diberikan pemerintah.  Sampai saat ini memang belum ada aturan yang menetapkan bentuk logo halal yang khas, sehingga pada umumnya produsen mencetak tulisan halal dalam huruf latin dan/atau arab dengan bentuk logo MUI dengan mencantumkan nomor sertifikat halal yang dimilikinya.  Hal ini dirasakan lebih aman bagi konsumen karena masih banyak produk yang beredar di pasaran yang mencantumkan label halal tanpa memiliki sertifikat halal MUI.[11]
Sertifikat halal[12] adalah surat keterangan yang dikeluarkan oleh MUI Pusat atau Provinsi tentang halalnya suatu produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetika yang diproduksi oleh perusahaan setelah diteliti dan dinyatakan halal oleh LPPOM MUI.  Pemegang otoritas menerbitkan sertifikasi produk halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang secara teknis ditangani oleh Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP POM MUI).
Bagi konsumen, serifikasi halal berfungsi :
1.    Terlindunginya konsumen muslim dari mengonsumsi pangan, obat-obatan dan kosmetika yang tidak halal
2.    Secara kejiwaan perasaaan hati dan batin konsumen akan tenang
3.    Mempertahankan jiwa dan raga dari keterpurukan akibat produk haram
4.    Sertifikasi halal juga akan memberikan kepastian dan perlindungan hokum terhadap konsumen
Sedangkan bagi pelaku usaha, sertifikat halal mempunyai peran sangat penting, yakni :
1.    Sebagai pertanggungjawaban produsen kepada konsumen muslim, mengingat masalah halal merupakan bagian dari prinsip hidup muslim
2.    Meningkatkan kepercayaan dan kepuasan konsumen
3.    Meningkatkan citra dan daya saing perusahaan
4.    Sebagai alat pemasaran serta untuk memperluas area jaringan pemasaran
5.    Memberi keuntungan pada produsen dengan meningkatkan daya saing dan omset produksi dan penjualan
Ada beberapa tujuan yang perlu dicapai dengan diberlakukannya labelisasi dan sertifikasi halal dalam dunia industry dewasa ini.
1.    Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 100 juta dan sekitar 87% beragama Islam merupakan potensi pasar yang sangat besar bagi produk-produk halal.  Apabila produk dalam negeri belum mampu menerapkan sistem produksi halal, maka aka dimanfaatkan oleh produk negara lainyang telah menerapkan sstem produksi halal.  Pada saat ini konsumen Muslim di beberapa daerah berkecenderungan  tertarik pada produk dari luar negeri karena sudah diproduksi dengan menggunakan label dan sertifikasi halal yang terakreditasi dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
2.    Karena belum memasyarakatnya sistem produksi halal di dalam negeri, mak produk impoer seperti makanan, minuman, obat, kosmetika, dan produk halal lainnyaakan menjadi ancaman bagi daya saing produk dalam negeri, baik di pasar loka, nasional maupun pasar bebas.  Saat ini produk haal dari Singapura dab Malaysia elah masuk kesebagian kawasan Indonesia Barat, Tengah, dan Timur dan apabila tidak segera diatasi akan dapat mematikan ke sebagian kawasan Indonesia Barat, Tengah, Timur dan apabila tidak segera dibatasi akan dapat mematikan pasar produk dalam negeri.
3.    Meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengonsumsi dan mengunakan produk halal merupakan tantangan yang harus direspons oleh Pemerintah dan pelaku usaha Indonesia.  Sebagai contoh, pasar dalam negeri kini telah dibanjiri produk luar negeri yang berlebel halal.  Sementara produk Indonesia yang diekspor ke beberapa negara yang mayoritas Muslim tidak dapat diterima hanya karena tidak mencantumkan label halal.
4.    Di samping itu dengan mulai diberlakukannya era persaingan bebas seperti AFTA pada tahun 2003 dan telah dicantumkannya ketentuan halal dalam KODEX yang didukung oelh WHO dan WTO, maka produk-produk nasional harus meningkatkan daya saingnya pada pasar dalam negeri maupun luar negeri (internasional).  Sebagai gambaran, setiap hari negara-negara di kawasan Timur Tengah memerlukan empat ribu ton produk-produk halal dari Indonesia.  Akan tetapi karena pelaku pelaku usaha di Indonesia belum banyak yang dapat memenuhi standar sistem produksi halal internasional , maka kesempatan tersebut ditangkap negara lain, seperti Malaysia.  Saat ini negara-negara produsen seperti Australia, New Zealand, Thailand, Cina, dan Amerika telah menerapkan standar sistem produksi halal dalam setiap produksinya.
5.    Dari sekitar 1,5 juta produsen makanan, minuman, obat-obatan, kosetika, dan produk lainnya, kurang dari seribu yang menggunakan label dan sertifikasi halal.  Hal tersebut disebabkan karena belum siapnya pemerintah dalam menyediakan fasilitas yang sesuai dengan tuntutan pasar. Sebagai akibat dari kondisi ini terjadi kecenderungan bagi para pelaku usaha untuk mendirikan pabrik di Malaysia dan Singapura hanya karena sekadar untuk memperoleh sertifikat dan label halal dari pemerintah yang bersangkutan.


C.  Pembinaan Produksi Halal

Dalam rangka pelaksanaan pembinaan, pengawasan, dan koordinasi Pemerintah perlu mengadakan pengaturan pembinaan dan pengendalian sebagai berikut:
1.    Pembinaan dan pengawasan pelaku usaha di bidang penerapan jaminan produk halal dilakukan oleh Departemen Agama.
2.    Pengawasan halal terhadap produk makanan, minuman, obat, kosmetika, dan produk lainnya yang berasal dari dalam negeri maupun impor dilaksanakan oleh pegawai penyidik.
3.    Koordinasi jaminan produk halal dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi.
Tugas pokok dan fungsi pembinaan produk halal Direktorat Urusan Agama Islam ialah merumuskan bimbingan dan penyuluhan atau pengawasan di bidang makanan, minuman, obat kosmetika, dan produk halal berdasarkan kebijakan teknis yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal.  Sedangkan fungsinya :
1.    Memimpin pelaksanaan tugas dan fungsi pembinaan produk halal
2.    Menyiapkan bahan bimbingan dan penyuluhan atau pengawasan terhadap beberapa produk
3.    Mengadakan pelayanan, verifikasi, sertifikasi dan keterangan halal bagi beberapa produk.
4.    Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan sektor yang terkait dengan produksi halal
5.    Mengendalikan perlindungan dan pembinaan produksi halal.
6.    Melakukan penyelidkan terhadap produksi halal yang bermasalah
7.    Pengendalian terhadap kehalalan produksi, impor dan peredaran produksi halal.
8.    Memberikan perlindungan terhadap konsumen dan produsen halal.


D.  Pengawasan dan Koordinasi Produksi Halal

Dalam rangka pengawasan, maka pemerintah perlu mengadakan pengaturan lebih lanjut sebagai berikut:
1.    Departemen agama dalam hal petunjuk tentang bahan baku, bahan tambahan proses produksi dan peredaran makanan halal.
2.    Departemen Pertanian dalam proses penyediaan bahan baku yang berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan.
3.    Departemen Perindustrian dalam hal pembinaan industry.
4.    Departemen Kesehatan dalam hal penetapan persyaraytan yang berhubungan dengan kesehatan dan periklanan.
5.    Departemen perdagangan dalam hal penetapan persyaratan impor bahan baku, bahan tambahan dan bahan makanan penolong makanan halal.
Pelaksanaan pengawasan oleh Pemerintah dilakukan dengan cara preventif dan pengawasan khusus:
1.    Pengawasan preventif dilakukan Menteri Agama dan dapat bekerja sama dengan menteri lain yang terkait.
2.    Pengawasan di lab produk tentang jaminan produk halal dilakukan oleh Menteri Agama
3.    Pengawas khusus dalam hal tertentu dilakukan oleh Menteri Agama bersama-sama oleh menteri yang terkait.
Pengawasan terhadap Produksi Halal atau Jaminan Produk Halal (JPH) dilakukan oleh BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal).  Pengawasan tersebut di lakukan terhadap[13] :
1.    LPH;
2.    Masa berlaku Sertifikat Halal;
3.    Kehalalan produk ;
4.    Pencantuman Label Halal;
5.    Pencantuman keterangan tidak halal;
6.    Pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembeihan, pengoahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;
7.    Keberadaan Penyelia Halal; dan/atau
8.    Kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
BPJPH dan Kementerian dan/atau Lembaga terkait yang memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.[14]  Pengawasan JPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.[15]
Peran serta masyarakat dalam hal pengawasan Produk Halal atau Jaminan Produk Halal (JPH) diharapkan dapat membantu Pemerintah dalam hal ini BPJPH dan Kementerian terkait. Dalam UU nomor 33 tahun 2013 tentang Jaminan Produk Halal telah tertuang bagaimana yang dapat dilakukan masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap beredarnya produk halal dan tidak halal,[16] yakni :
1.    Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan JPH.
2.    Peran serta masyarakat dapat berupa:
a.       Melakukan sosialisasi mengenai JPH; dan
b.      Mengawasi Produk dan Produk Halal yang beredar.
3.    Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk dan Produk Halal yang beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berbentuk pengaduan atau pelapora ke BPJPH.
Masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan dan pengawasan JPH akan mendapatkan penghargaan yang diberikan oleh BPJPH.

E.  Prosedur Permohonan Produksi Halal


Untuk mendapatkan status halal sebuah produk, pelaku usaha harus melakukan prosedur permohonan sebagai berikut :
1.    Pelaku usaha melakukan permohonan ke Departemen Agama.  Departemen Agama menunjuk LPPOM MUI untuk melakukan pemeriksaan.  Hasil pemeriksaan diteruskan ke komisi fatwa MUI untuk dilakukan penelitan dan pembahasan.
2.    Jika hasil siding fatwa MUI memutuskan produk tersebut tidak halal, maka dikembalikan pada LPPOM MUI dan diteruskan pada pelaku usaha untuk dilengkapi dan disempurnakan.  Jika siding memutuskan bahwa produk tersebut halal maka MUI mengeluarkan sertifikat halal dan dikukuhkan oleh Menteri Agama.
3.    Setelah mendapat ijn dan nomor kode dari Menteri Agama, perusahaan yang bersangkutan dapat mencetak label halal dengan menggunakan standar Pemerintah.  Biaya labelisasi tersebut ditanggung perusahaan.
Di dalam UU Nomor 33 Tahun 2013 tentang Jaminan Produk Halal kaitannya dengan prosedur permohonan Produk Halal, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pelaku usaha. Berikut ini adalah hal-hal yang perlu diperhatikan :
1.    Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib :[17]
a.    Membeikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;
b.    Memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan ridak halal;
c.    Memiliki penyelia halal; dan
d.   Melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH
2.    Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib:[18]
a.    Mencantumkan Label Halal terhadap produk terhadap Produk yang telah mendapat Sertifikat Halal;
b.    Menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal;
c.    Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;
d.   Memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku Sertifikat Halal berakhir; dan
e.    Melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJHP.
Tinjauan terhadap Prosedur permohonan Sertifikat dan Pemeriksaan Produk  Halal  di Indonesia telah diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2013 tentang Jaminan Produk Halal.
1.    Bagian Kesatu (Pengajuan Permohonan)[19]
a.    Permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH.
b.    Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan dokmen:
1)   Data Pelaku Usaha;
2)   Nama dan jenis Produk;
3)   Daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
4)   Proses pengolahan Produk
c.    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
2.    Bagian Kedua (Penetapan Lembagi Pemeriksa Halal)[20]
a.    BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.
b.    Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja trhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dinyatakan lengkap.
c.    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri.
3.    Bagian Ketiga (Pemeriksaan dan Pengujian)[21]
a.    Pemeriksaaan dan/atau pengujian kehalalan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan oleh Auditor Halal.
b.    Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi
c.    Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium.
d.   Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.
e.    LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pegujian kehalalan Produk kepada BPJPH.
f.     BPJHP menyampaikan hasi pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehaalan produk.
4.    Bagian keempat (Penetapan Kehalalan Produk)[22]
a.    Penetapan Kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.
b.    Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam siding Fatwa Halal.
c.    Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikutsertakan pakar, unsur kemeterian/lembaga, dan/atau instansi terkait.
d.   Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling ama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari BPJPH.
e.    Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandantangani oleh MUI.
f.     Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.
5.    Bagian Kelima (Penerbitan Sertifikat Halal)[23]
a.    Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menetapkan halal pada Produk yang dimohonkan Pelaku Usaha, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.
b.    Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (2) menyatakan Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan.

F.   Prosedur Pemeriksaan Produksi Halal

Setiap produsen maupun importer yang mengajukan permohonan pemeriksaan dan penetapan produk halal dari lembaga pemeriksa harus memenuhi prosedur sebagai berikut :
1.    Mengisi formulir pendaftaran yang telah disediakan oelh lembaga pemeriksa.
2.    Khusus bagi produk yang menggunakan bahan yang berasal dari hewan harus melampirkan Sertifikat Halal dari MUI atau lembaga sertfikat luar negeri dilalui MUI yang menyatakan bahwa pemotongan hewan dilakukan berdasarkan hukum Islam.
3.    Data penunjang bahan, seperti sertifikat halal, asal-usul halal bahan dan lan-lain.
4.    Bagan atur proses produksi.
5.    Sertifikat dan sumber bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong lainnya.
Sebelum produsen mengajukan permohonan pemeriksaan maka terlebih dahulu disyaratkan yang bersangkutan menyiapkan hal-hal sebagai berikut :
1.    Produsen menyiapkan suatu sistem halal
2.    Sistem halal tersebut harus didokumentasikan secara jelas dan rinci serta merupakan bagian kebijakan manajemen produsen.
3.    Dalam pelaksanaannya, sistem halal ini diuraikan dalam bentuk panduan halal.  Tujuan membuat panduan halal adalah untuk memberikan uraian sistem manajemen halal yang dijalankan produsen
4.    Produsen menyiapkan prosedur peaksanaan untuk mengawasi setiap proses yang kritis agar kehalalan produknya dapat terjamin
5.    Baik panduan halal maupun prosedur baku pelaksanaan yang disiapkan harus disosialisasikan dan diujicoba dilingkungan produsen sehingga seluruh jajaran mulai dari direksi sampai karyawan memahami betul bagaimana memproduksi produk halal dan baik
6.    Produsen melakuakan pemeriksaan serta mengevaluasi apakah sistem halal yang menjamin kehalalan produk ini dilakukan sebagaimana mestinya
7.    Untuk melaksanakan butir 6 perusahaan harus mengangkat seorang auditor halal internal yang beragama Islam.
Objek-objek pemeriksaan yang berkaitan dengan kehalalan produk-produk meliputi:
1.    Asal-usul bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong
2.    Ruang produksi, peralatan produksi, ruang penyimpanan, alat pengangkutan untuk distribusi dan penyajian produk
3.    Cara pelaksanaan produksi produk, termasuk cara penyembelihan hewan dan cara penyajian produk
4.    Kriteria personil yang melaksanakan penyembelihan hewan dan melaksanakan proses produksi , ruang produksi, dan fasilitas.

G. Landasan Yuridis

1.    Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan
2.    Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2013 tentang Jaminan Produk Halal
3.    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
4.    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
5.    Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
6.    Kepmenkes Nomor. 924/Menkes/SK/VIII/1996 tentang Perubahan atas Kepmenkes No. 82/Menkes/SK/I/1996 tentang Pencantuman Tulisan “halal” pada Label Makanan
7.    SK. Menkes No.23 Tahun 1978 tentang pedoman cara produksi yang baik untuk makanan olahan.
8.    SK. Menkes No.23 Tahun 1992 tentang kehalalan pangan.
9.    QS al-Baqarah ayat 163
10.     QS al-Baqarah ayat 172
11.     HR Bukhari dan Muslim

H.  Analisis permasalahan sertifikasi Halal

Ada beberapa contoh kasus yang teah sangat menyakiti konsumen Muslim di Indonesia, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian besar bagi produsen dan dunia usaha, yaitu: kasus bakso mengandung ddaging babi di Bandung (1984), kasus makanan yang memakai bahan dari babi di Malang (1988)[24], dan kasus Vaksin Meningitis Jemaah haji yang mengandung enzim babi (2009).[25]  Menyikapi hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LP-POM) dan Komisi Fatwa telah berikhtiar untuk memberikan jaminan produk makanan halal bagi konsumen muslim melalui instrument sertifikat halal.  Sertifikat halal merupakan fatwa tertulis Majelis Ulama Indonesia yang menyatakan kehalalan suatu produk.  Sertifikat halal selain sebagai perlindungan konsumen dari berbagai macam makanan yang dianggap tidak layak sesuai syari’at Islam khususnya Indonesia yang mayoritas beragama Islam, juga mendorong kompetisi dan menjadi keunggulan.  Sertifikat halal saat ini menjadi salah satu poin untuk daya saing di perdagangan Internasional.[26]
LPPOM MUI melakukan pengkajian dan pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap produk yang akan disertifikasi.  Jika berdasarkan pendekatan sains telah didapatkan kejelasan, maka hasil pengkajian dan pemeriksaan tersebut dibawa ke Komisi Fatwa untuk dibahas dari tinjauan syari’ah Islam.  Pertemuan antara sains dan syari’ah inilah yang dijadikan dasar penetapan oleh Komisi Fatwa, yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk sertifikat halal oleh MUI.  Namun, karena sertifikasi ini masih bersifat sukarela maka (jangan heran kalau)saat ini masih banyak produk yang sudah bersetifikat halal tetapi belum memiliki label halal, sekitar 35,19 persen dari total produk makanan, minuman, obat-obatan dan kosmetik yang terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).  Kemudian sekitar 90 persen dari jumlah itu berasal dari produk pangan.[27]
Diakui bahwa pada saat ini masih cukup banyak permasalahan yang dihadapi dalam kaitan dengan sertifikasi karena masalah sertifikasi halal itu sendiri merupakan sesuatu yang masih relative baru.  Masyarakat, terutama umat Islam baru menyadari akan pentingnya sertifikasi halal sehingga banyak kendala yang masih harus dihadapi untuk merealisasikannya.  Permasalahan tersebut diantaranya berkaitan dengan aspek sebagai berikut :
1.    Kelembagaan
2.    Standar
3.    Mutual Recognition
4.    Persangan Global
5.    Mekanisme Sertifikat Halal

BAB III
PENUTUP


A.  Kesimpulan

1.    Makanan halal adalah makanan yang dibolehkan oleh agama dari segi hukumnya dan makanan tersebut dapat diolah dengan baik dan benar menurut agama. Minuman halal adalah minuman yang dibolehkan oleh agama dari segi hukumnya dan minuman tersebut dapat diolah dengan baik dan benar menurut agama.
2.    Jaminan pangan halal dan baik adalah mutlak diperlukan untuk meningkatkan daya saing  produk pangan lokal Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri.
3.    Pangan halal adalah Pangan yang memiliki cita rasa baik, sanitasi higine baik dan kandungan gizinya yang baik. Pangan yang baik berkaitan dengan jaminan bahwa pangan yang diproduksinya bergizi, rasanya enak, warnanya menarik, teksturnya baik, bersih, bebas dari hal-hal yang membahayakan tubuh seperti kandungan mikroorganisma patogen, komponen fisik, biologis, dan zat kimia berbahaya. Baik (Thayyib) adalah lezat, baik, sehat dan menentramkan.

B.  Saran

Makanan dan minuman tidak dapat sembarangan di produksi dan di konsumsi. Sebaiknya harus di pastikan terlebih dahulu apakah makanan itu halal ataukah haram.
Saran agar masyarakat tidak mengkonsumsi makanan haram yaitu;
1.    menindak lanjuti produsen yang produksi makanan haram
2.    member sanksi terhadap orang yang mengkonsumsi makanan dan minuman haram
3.    member label halal terhadap yang halal,dan tidak member label halal terhadap yang haram.
4.    lebih berhati-hati dalam memilih ataupun mengkonsumsi produk pangan.


DAFTAR
PUSTAKA


Djakfar, Muhammad. Hukum Bisnis. Malang: UIN-Maliki Press,2013
Zarqa, Ahmad Ibn Syekh Muhammad, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Damaskus: Dar al-Qalam, 1422H
Yusanto, Muhammad Ismail dan Muhammad Karebet Widjajakusuma, Menggagas Bisnis Islami, Jakarta: Gema Insani, 2002
Wahid, Abdurrahman, Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas,1981
UU No. 33 Tahun 2013 tentang Jaminan Produk Halal
Tim Departemen Agama RI., Ushul Fiqh I-II P3 – PT IAIN, Jakarta: Depertemen Agama RI, 1981


[1] Mudhafier Fadhlan, Makanan Halal, (Jakarta; Zakia Press; 2004), h.37.
[2]Ibid.,
[3]Menurut Rudyanto,2003
[4] Menurut Qaradhawi 2007,31
[5] HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah
[6] UU No.33 Tahun 2013 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 pada ketentuan umum
[7] H.R Ibnu Majah No3358 dan at-Tarmizi No1648.
[8] QS. An-Nisa’ 29
[9] Ibrahim, Pemahaman, 14-15
[10] QS Al-A’raf, 157
[11] Paulus J. Rusli, “Nilai Unggul Produk Halal”, Jurnal Halal, Nomor 59 Th X, 2005, Jakarta: LPPOM MUI, hlm. 15.
[12] Sertifikat Halal MUI untuk pertama kali diterbitkan pada tanggall 7 April 1994 Untuk produk Unilever Indonesia
[13]UU No. 33 Tahun 2013, Bab VII Tentang Pengawasan; Pasal 49.
[14]Ibid.,Pasal 51
[15]Ibid,.
[16] UU No. 33 Tahun 2013; Bab VIII tentang Peran Serta Masyarakat, Pasal 53.
[17] UU No. 33 Tahun 2013 op.cit.,BAB IV Pelaku Usaha pasal 24
[18]Ibid., pasal 25
[19]Ibid., Bab V Tata Cara Memperoleh Sertifikat Halal, Pasal 29 Bagian, Kesatu
[20]Ibid., Pasal 30, Bagian Kedua
[21]Ibid., Pasal 31-32,Bagian ketiga.
[22]Ibid., Pasal 33, Bagian keempat
[23]Ibid., Pasal 34, Bagian kelima
[24] Ma’ruf Amin, “Fatwa HALAL Melindungi Umat dari Kerugian yang Lebih Besar”, Jurnal Halal, No.103 Th. XVI Tahun 2013, Jakarta;LPPOM MUI, hlm.20.
[25] Fokus, “Mendamba Vaksin Meningitis Halal”, Jurnal Halal, No.78 Th. XII Tahun 2009, Jakarta; LPPOM MUI, hlm. 8
[26] Sandiago Uno, “Agar UKM Semakin Berdaya Saing Tinggi” Jurnal Halal, No. 91 Th. XIV Tahun 2011, Jakarta LPPOM MUI, hlm. 8
[27] Lukmaul Hakim “Sayang Ya Serifikat Halal Masih Urusan Sukarela”,  Majalah Aulia, No. 12 Th. VIII Jumadil Sani-Rajab 1432 H Tahun 2011, Jakarta: Aulia, hlm. 135.

7 komentar:

 

dhitanh1510 Template by Ipietoon Cute Blog Design

Blogger Templates